2024 08 28 07 20 09.png.jpg
Read Time:1 Minute, 47 Second

CISARUA, PENAPUBLIK.COM – “Layaknya kaum “proletar” yang seringkali menjadi target eksploitasi para majikan yang berorientasi kapitalis,” sepenggal kalimat diungkapkan warga masyarakat di kawasan wisata Puncak pasca pembongkaran tahap kedua terhadap ratusan bangunan liar yang tak berizin oleh Pemkab Bogor.

Ya, Tepat tanggal 26 agustus 2024, seantero kawasan wisata Puncak bergemuruh raungan suara mesin-mesin buldozer meluluhlantakkan ratusan bangunan liar dan tak berizin, seketika kepulan debu bekas bangunan itupun berterbangan di alam Puncak.

Tak hanya itu, celoteh dan suara sumpah serapah serta teriakan-teriakan rasa ketidak adilan menjadi pemandangan tak lazim dikawasan tersebut pada Senin (26/8).

Derap langkah yang kokoh para pamong di Bumi Tegar Beriman Kabupaten Bogor yang tengah mempertontonkan sedang menghalau warga masyarakat yang akan kehilangan tempat mereka mengais rejeki, warung-warung itu diratakan, sementara di sisi lainnya beberapa unit bangunan megah yang jelas-jelas sama berdiri satu hamparan dengan warung-warung itu masih kokoh berdiri dan hanya terikat seutas tali yang bernilai lima puluh juta untuk sebuah aturan yang bernama Perda.

Aktivis KWP Seusai Berorasi Didepan Liwet Asep Stroberi Pada Senin Sore (26/8/2024).

“Betapapun teriakan itu begitu keras, tangisan itu meratap langit, sepertinya para pamong tersebut seperti telah disihir oleh para penyamun sehingga tertutup semua rasa dalam jiwa dan raganya, mereka bak robot-robot yang telah diprogram untuk melindas siapapun dihadapan mereka sekalipun itu adalah pemilik kedaulatan di Negeri yang konon telah merdeka, Negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, Negeri yang menjunjung nilai-nilai keadilan atas semua status sosial,” celoteh Dede Rahmat, Salah seorang aktivis Puncak dengan nada penuh kekecewaan atas ketidak adilan yang terjadi.

Ditempat yang sama, Jonathan Salim mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap nilai-nilai etika dan estetika di kawasan Puncak saat ini.

“Ini yang akhirnya terjadi, hanya dengan denda 50 juta bisa gagal dieksekusi tapi kenapa pedagang kecil tidak diberikan akses dan ijin untuk mengurus perijinannya,” keluh Joe biasa disapa.

Menurutnya, Puncak hari ini begitu termajinalkan di Bumi Tegar Beriman, apakah potret ini layak dalam sebuah negeri yang telah merdeka? Atau ini hanya sebatas mimpi disiang bolong? tapi tangisan itu akan berganti dengan do’a kepada Sang pemilik alam, Wallohu A’lam bisshowab.

(Fik/Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 × 4 =