
BOGOR, PENAPUBLIK.COM – Indonesia kerap menyebut dirinya sebagai negara demokrasi dan secara konstitusional, klaim tersebut memang sah. Kita memiliki pemilu, kebebasan berpendapat, dan sistem kepartaian yang memungkinkan rakyat berpartisipasi dalam kehidupan politik. Namun, di balik semarak perayaan demokrasi setiap lima tahun, tersimpan paradoks yang kian mencolok: partai politik, yang semestinya menjadi tulang punggung demokrasi, justru sering kali hanya menjadi arena perebutan kekuasaan.
Dalam sejarah perjalanan bangsa, partai politik didirikan sebagai medium artikulasi antara suara rakyat dan keputusan negara. Ia bukan sekadar “Kendaraan politik” tetapi wadah pendidikan politik, penjaga kepentingan publik, dan stabilisator konflik. Para akademisi seperti Carl J. Friedrich, Sigmund Neumann, dan Miriam Budiardjo menggambarkan partai politik sebagai institusi penting yang menghidupkan demokrasi, bukan hanya memfasilitasinya.
Sayangnya, praktik di lapangan menunjukkan kenyataan yang tak selalu sejalan dengan idealisme. Di masa Orde Lama, partai politik tampil dengan ideologi yang kuat, tetapi hal itu juga memicu polarisasi ekstrem dan instabilitas politik. Lalu, ketika Orde Baru berkuasa, partai-partai dibonsai sedemikian rupa-menjadi alat pelengkap kekuasaan semata, kehilangan fungsi asasinya sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Pasca reformasi 1998, gelombang kebebasan melahirkan banyak partai baru. Rakyat sempat menyambutnya dengan optimisme: seolah era baru telah tiba, dengan partai-partai yang lebih terbuka, aspiratif, dan berani mengusung gagasan. Namun seiring waktu, harapan itu pelan-pelan terkikis. Banyak partai tampak lebih sibuk menyusun strategi politik jangka pendek demi kekuasaan, ketimbang membangun visi dan ideologi jangka panjang.
Koalisi antar partai terbentuk tanpa fondasi nilai yang jelas. Perbedaan ideologi yang dulu dianggap prinsipil kini dianggap fleksibel demi kalkulasi politik. Dalam praktiknya, elit partai kerap memprioritaskan agenda pribadi atau kepentingan kelompok daripada memperjuangkan aspirasi rakyat. Di tengah situasi ini, masyarakat menjadi semakin asing dengan proses politik yang berjalan. Ketimpangan antara harapan dan kenyataan makin terasa.
Padahal, peran partai politik dalam demokrasi tidak bisa dianggap remeh. Idealnya, partai menjalankan empat fungsi utama:
Komunikasi politik: menghubungkan suara rakyat dengan kebijakan yang dibuat negara.
Sosialisasi politik : membentuk kesadaran warga terhadap hak dan kewajibannya secara politik.
Rekrutmen politik: mencetak dan mempromosikan calon pemimpin yang kompeten dan berintegritas.
Pengatur konflik : mengelola perbedaan secara konstruktif agar tidak berkembang menjadi ketegangan sosial.
Jika keempat fungsi ini dijalankan dengan konsisten, partai politik dapat menjadi tiang demokrasi yang kokoh. Sebaliknya, bila hanya berperan sebagai alat transaksi kekuasaan, demokrasi bisa menjadi dangkal dan ritualistik belaka.
Sebagai generasi muda yang tumbuh dalam era pasca reformasi, saya menyaksikan langsung bagaimana partai politik masih berkutat dalam dinamika yang kadang membingungkan. Harapan publik untuk melihat partai sebagai penyambung lidah rakyat sering kali berbenturan dengan realitas di lapangan yang penuh kompromi politik. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi masa depan demokrasi kita.
Rakyat, sebagai pemilik kedaulatan, berhak menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan partai terhadap publik. Kita tidak bisa terus diam melihat partai-partai bergerak tanpa arah ideologis yang jelas. Sudah saatnya masyarakat turut aktif mengevaluasi dan mengkritisi perilaku partai politik secara rasional dan berbasis informasi. Pendidikan politik yang kuat harus menjadi fondasi agar rakyat dapat menjadi pemilih yang cerdas, bukan sekadar objek dalam kampanye.
Harapan kita sesungguhnya tidak berlebihan : agar partai politik kembali ke khitahnya sebagai pejuang kepentingan rakyat, bukan sekadar instrumen elite yang berlomba-lomba menguasai kursi kekuasaan.
Kita mendambakan partai-partai yang berani berpihak, membela publik, dan menjalankan demokrasi dalam maknanya yang paling substansial. (Redaksi)
Penulis : Muhammad Farhan Chaniago Mahasiswa Fakultas Hukum UNUSIA.