Bersaudara Namun Selalu Berbeda Rasa
Read Time:2 Minute, 58 Second

Bogor, PenaPublik.com – Sering kita jumpai berbagai hal dalam konteks yang berbeda tak terkecuali dalam hal yang sama pun kita menjumpainya, Layaknya seorang manusia, satu dengan lainnya memiliki perbedaan tersendiri. Namun bagaimana jika perbedaan ini menjadi sebuah konflik interest yang berkelanjutan?, yang pada akhirnya masyarakat sangat menunggu kesamaan dari hal tersebut agar menimbulkan kepastian.

Pada kesempatan ini kita tidak membahas person to person, melainkan lembaga satu dengan lembaga lainnya dan sesuai dengan tema diatas pun membahas mengapa dikatakan “bersaudara” ? karena pada kali ini kita membahas hal yang serupa dalam fungsinya, namun selalu berbeda dalam keputusannya.

Ya, benar yang sedang hangat diperbincangkan oleh para pegiat hukum dan warganet begitu penasaran dengan jalan cerita PILPRES 2019, mengenai munculnya barang bekas said RG dalam diskusi dikanal youtubenya, Putusan MA (Mahkamah Agung, /red) 44 Tahun 2020. Titik permasalahannya adalah MA melalui produk hukumnya menyatakan untuk mengabulkan gugatan Rahmawati CS terkait judicial review UU Pilpres. Sedangkan kasus sudah ditutup dan menimbulkan disharmonisasi keputusan dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi, /red) itu.

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dilihat dari konteksnya memiliki persamaan, diambil dari kata “Mahkamah” dalam KBBI memiliki arti badan/tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran peradilan.

MA yang lahir terlebih dahulu memiliki kuasa dalam beracara menangani peradilan, setelah kemerdekaan tepatnya tanggal 18 agustus 1945, Presiden Soekarno melantik MR. Dr. R.S.E. Koesomah Atmadjaya sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama. Hari pengangkatan itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Mahkamah Agung 1945 melalui Surat Keputusan KMA/043/SK/VIII/1999 Tentang Penetapan Hari Jadi Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan lainnya. Yang Berdasarkan Pasal 20 UU Kehakiman Memiliki Kewenangan :

  • Mengadili Pada Tingkat Kasasi Terhadap Putusan Yang Diberikan
  • Menguji Peraturan Perundang-Undangan Dibawah Undang-Undang Terhadap Undang Undang.

Kemudian disusul dengan lahirnya anak kedua yakni Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Oktober 2003 ditandai dengan pelimpahan perkara dari MA ke MK, Kewenangan MK yang termaktub dalam Undang – Undang Dasar pasal 24C :

  • Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
  • Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenanganya diberikan UUD.
  • Memutus pembubaran partai politik
  • Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Jika ditarik benang merah, hal ihwal mengenai Pemilihan Umum memang sudah kompetensi Mahkamah Kostitusi sebagai “anak kedua”
Hanya saja dalam berpemilu kadang kadang kandidat (yang terkait tentang itu) melakukan berbagai cara untuk mendapatkan haknya. ketika gugatan nya ditolak oleh MK, mereka mencoba untuk mempreteli cara beregulasi yang baik dan benar di MA. Seharusnya ketetapan yang sudah dibuat oleh MK sejatinya bersifat final.

Dengan demikian konflik interest lainnya muncul dalam keputusan berbagai lembaga, sebagai contoh kepastian berpilkada mengenai terbitnya SK sebagai Kepala Daerah. Serta mengenai putusan hukuman mati pada terpidana.

“MK mengatakan hukuman mati konstitusional, putusan tahun 2007, tiba-tiba dalam kasus yang konkret MA memberikan discount pada terpidana hukuman mati karena dianggap hukuman mati bertentangan dengan konstitusi”. Said Refly harun dalam kanal youtube RG.

Dalam kasus yang abstrak norma, MK mengatakan tidak bertentangan dengan konstitusi, dalam kasus yang konkrit MA mengatakan bertentangan dengan konstitusi MK erga openes berlaku untuk semua hal. kalo ini berlaku untuk pihak-pihak yang terlibat, namun mau bagaimanapun tafsir cara berpikirnya kurang lebih sama menggunakan ayat-ayat konstitusi.

Sebagai akhir dari tulisan ini harus ada grand design penyamaan nalar dalam memberikan keputusan yang baik oleh MA maupun MK, karena mereka tidak hirarkis. Atau dalam pengambilan putusan MA sebaik tidak adanya campur tangan politis atau apapun sehingga keputusan tidak berlarut dan tidak terjadinya kondisi surut dalam penetapan hukuman atau agar putusan tersebut tidak menjadi barang bekas yang hanya menjadi buah bibir semata. Wallahu`a’lam.

Penulis : Andika Laraibafi

Editor : Redaksi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 × 2 =