SULAWESI SELATAN, PENAPUBLIK.COM – Konflik agraria di Indonesia terus meningkat seakan tak ada ujung dan menemui penyelesaian, penyerobotan lahan untuk kepentingan perkebunan lahan sawit yang dilakukan PTPN XIV diduga telah banyak merugikan masyarakat adat Pamona dan Petani di Luwu Timur.
Menurut Aldiyat Syam Husain, Direktur LBHMI MPO, Dirinya mengungkapkan bahwa lahan-lahan petani terus diserobot oleh PTPN XIV. Hal tersebut berdasarkan informasi dan laporan dari masyarakat setempat yang menuntut PTPN XIV untuk menghentikan perampasan lahan yang akan dikelola untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit.
Berdasarkan laporan itulah, Pihaknya bergerak ke TKP untuk melihat situasi disana pasca penyerobotan lahan yang dilakukan PT Perkebunan (PTPN) XIV pada 11 September 2020 yang lalu.
“Alhamdulillah, kami bertemu langsung dengan perwakilan masyarakat adat Pamona dan perwakilan petani Desa Panca Karsa,” kata Aldiyat panggilan akrabnya.
Lanjutnya, Berdasarkan pengamatan dilokasi Ia mendapatkan informasi bahwa pertama, sengketa lahan Masyarakat Adat Pamona dengan PTPN XIV sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu, Kedua PTPN XIV melalukan penyerobotan lahan milik petani di Desa Panca Karsa, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan.
Menurutnya, Permasalahan yang dihadapi Masyarakat Adat Pamona dan Petani di Luwu Timur saat ini cukup kompleks, sehingga memang perlu mendapatkan perhatian khusus, terlebih Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Timur agar memberikan pencerahan yang benar dan melindungi warganya dari tindakan intimidasi serta tindakan perusakan lahan yang sewaktu-waktu mungkin bisa saja dilakukan pihak PTPN XIV karena sudah sangat meresahkan petani dan Masyarakat Adat Pamona.
“Iya, kami dapatkan informasi ada salah satu lahan warga (petani) yang diserobot yaitu lahan milik Pak Sutrisno, seluas 1,5 hektar yang ditanami merica dan sudah siap panen, namun gagal, akibat dirusak PTPN XIV dengan menggunakan eskapator. Selain lahan Pak Sutrisno, juga ada lahan warga lain, yang totalnya mencapai kurang lebih 30 Hektar. Kemudian setelah dirusak (di land clearing) oleh PTPN seluas 6 Hektar,” paparnya.
Masih kata Aldiyat, Adapun proses perusakan lahan (land clearing) oleh PTPN tersebut sebelumnya tidak ada sosialisasi terlebih dahulu kepada warga.
“Bahkan tidak ada ganti rugi atas tanaman di atasnya yang menjadi rusak akibat land clearing yang dilakukan pihak PTPN,” ujarnya.
Oleh sebab itu kata dia, Dalam permasalahan tersebut sehingga ada dugaan tindakan perusakan lahan oleh PTPN dan telah melanggar pasal 406 KUHP yang mengatur tentang tindakan perusakan barang milik orang lain.
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau, sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” tandasnya. (FIK)